Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan yang namanya garam. Garam dibutuhkan sangat sedikit dalam porsi makanan tapi sekarang harganya selangit. Dengan harga selangit yang paling merasakan asinnya garam adalah para pengasin ikan, pedagang telur asin, industri makanan, industri CAP, pengeboran, pabrik kertas, penyamak kulit dan seterusnya yang memerlukan bahan garam sebagai bagian dari proses produksinya.
Mengapa garam harus impor?
Garam di negara-negara subtropis/luar negeri berasal dari rock salt atau bukit garam yang terbentuk dari proses alami selama bertahun-tahun mengendap dan terdeposit di lapisan tanah. Sehingga cara perolehan garam dengan cara menambang garam seperti menambang bahan tambang tinggal merngambil di lapisan tanah tertentu selain dari proses penjemuran air laut di meja kristalisasi.
Selain itu usaha ladang garam di subtropis diuntungkan oleh iklim yang curah hujannya sangat rendah, bahkan lebih rendah dari NTT salah satu propinsi yang kering dan paling rendah curah hujannya di Indonesia.
Di negara subtropis seperti di India, Cina, Australia dan Amerika Serikat merupakan negara dengan wilayah dari bagian Benua, sehingga potensi lahannya relatif datar. Berbeda dengan Indonesia merupakan negara kepulauan dan gunung berapi sehingga bentang alamnya sangat sempit untuk area pantai yang datar, walaupun garis pantainya terpanjang kedua setelah Kananda, tapi faktor penghambat-penghambat dalam produksi garam sangat banyak seperti curah hujan yang tinggi, slop/kemiringan lahan yang besar, sumber air laut yang mutunya rendah karena aliran air dari darat pada musim hujan, dan banyaknya limbah yang terbuang ke laut.
Untuk negara kita Indonesia rock salt tidak akan dijumpainya mengingat iklim di negara kita yang relatif curah hujannya tinggi sehingga terbentuknya tambang garam (rock salt) akan tidak terjadi. Sementara iklim/curah hujan di daerah subtropis curah hujan sangat rendah berkisar 300 - 500 mm per tahun sementara iklim di indonesia paling rendah 900 mm/tahun di daerah NTT dan curah hujan tertinggi 7.500 mm/tahun di daerah batu raden Jawa Tengah, sehingga dengan demikian daerah-daerah beriklim sub tropis memiliki keunggulan komparatif (tiada duanya) karena di untungkan oleh posisi lokasi di permukaan kulit bumi ini.
Air laut sebagai sumber bahan baku garam di negara-negara sub tropis relatif lebih baik, mengingat kepedulian terhadap pencemaran lingkungan khususnya air yang sangat tinggi, berbeda dengan negara kita Indonesia yang relatif rendah terhadap kepedulian pencemaran lingkungan, bahkan barang-barang rongsok di impor dari luar negeri yang pada akhirnya akan mencemari air dan lingkungan laut.
Pasang surut di negara kita Indonesia relatif tinggi dengan tunggang pasang bisa mencapai 3 m dpl karena permukaan air laut di negara tropis relatif dekat dengan matahari dan bulan, sehingga pengaruh gravitasi bulan dan matahari akan tinggi dan menimbulkan gelombang pasang air yang tinggi. Hal ini akan berdampak pada pembangunan tambak garam dan pengelolaan garam yang relatif lebih sulit karena adanya infiltrasi air yang akan mudah masuk atau keluar dari kolam tambak garam atau dari luar seperti air pasang dan air hujan.
Adanya gejolak anomali cuaca seperti elnino dan lannina yaitu musim kemarau berkepanjangan dan musim hujan berkepanjangan sehingga adanya dinamaika iklim yang ekstrim dan tidak dapat diprediksi dengan baik, hal ini akan sangat mempengaruhi pengelolaan tambak garam dan produksi garam, seperti sekarang tahun 2017 ini musim hujan yang berkepanjangan, sehingga produksi garam nasional turun sangat tajam akibat banyak tambak garam nasional yang gagal panen akibat meja kristalisasi kehujanan dan garam tidak terbentuk menjadi cair lagi.
Usaha tambak garam konvensiaonal dengan penjemuran matahari dan terbuka akan membutuhkan lahan yang luas, hal ini akan bersinggungan dengan fungsi-fungsi lahan yang lain seperti parikanan pantai dan laut, pariwisata pantai, akses pelabuhan dan reklamasi pantai. hal ini akan menyulitkan dalam pengediaan lahan sebagai tambak garam.
Usaha dibidang tambak garam menghasilkan yield/revenue yang relatif rendah dengan produksi garam 100 ton/ha/thn dan harga normal 500 rp/kg di tingkat petani/produsen, sehingga revenue yang diperoleh sebesar 50 juta/ha/thn sehingga usaha ini memiliki profit yang relatif rendah.
Usaha di bidang tambak dikelola di area terbuka tanpa pohon-pohon dan terik matahari yang begitu hebat, sehingga pengelolaannya memerlukan tantangan fisik yang sangat berat yaitu menghadapi terpaan panasnya lingkungan tambak garam, sehingga hasil kinerja tenaga kerja di lapangan relatif rendah karena terpaan panas yang begitu hebat. Hal ini tentunya akan mempengaruhi produkstifitas garam secara utuh. Berbeda dengan daerah sub tropis, tambak garam akan mengkristal karena dominan terpaan angin , sementara suhu lingkungan (sinar matahari) tidak begitu panas sehinga akan menyamankan tenaga kerja di lapangan.
Usaha tambak garam secara luas hingga 3000 ha, memerlukan mekanisasi dengan penggunaan mesin dalam pengelolaannya, mengingat kita dikejar dengan waktu iklim (musim) hujan yang segera tiba, sehingga memerlukan kedisiplinan yang tinggi. Sehingga mau-tidak mau dengan cara mekanisasi, sementara negara kita pengusaan teknologyinya masih kalah jauh dengan negara subtropis sperti australia, cina, india dan amerika.
Membangun tambak garam di daerah pantai relatif sulit, mengingat area berlumpur, pasang surut dan air bergaram dan banyak binatang perusak tanggul tambak bangsa ketam sehingga banyak hambatan yaitu sulitnya pengerjaan pembangunan tambak, banyak alat berat yang tenggelam dalam lumpur, menunggu momen surut air laut, dan banyak alat berat yang cepat rusak karena korosi akibat air garam dan tanggul yang bocor. Sehingga bisnis ini tidak banyak disukai oleh banyak petani.
Harga garam import yang relatif lebih murah terutama garam untuk industri dari pada harga garam produksi dalam negeri (lokal), mengingat faktor-faktor produksi garam luar negeri yang relatif murah seperti iklim, slop lahan, bahan baku air laut, dan pengusaan teknologi yang lebih bersahabat.
Apakah garam lokal (dalam negeri) mampu bersaing dengan garam import? fakta yang akan membuktikannya BRO.....
Mengapa garam harus impor?
Garam di negara-negara subtropis/luar negeri berasal dari rock salt atau bukit garam yang terbentuk dari proses alami selama bertahun-tahun mengendap dan terdeposit di lapisan tanah. Sehingga cara perolehan garam dengan cara menambang garam seperti menambang bahan tambang tinggal merngambil di lapisan tanah tertentu selain dari proses penjemuran air laut di meja kristalisasi.
Selain itu usaha ladang garam di subtropis diuntungkan oleh iklim yang curah hujannya sangat rendah, bahkan lebih rendah dari NTT salah satu propinsi yang kering dan paling rendah curah hujannya di Indonesia.
Di negara subtropis seperti di India, Cina, Australia dan Amerika Serikat merupakan negara dengan wilayah dari bagian Benua, sehingga potensi lahannya relatif datar. Berbeda dengan Indonesia merupakan negara kepulauan dan gunung berapi sehingga bentang alamnya sangat sempit untuk area pantai yang datar, walaupun garis pantainya terpanjang kedua setelah Kananda, tapi faktor penghambat-penghambat dalam produksi garam sangat banyak seperti curah hujan yang tinggi, slop/kemiringan lahan yang besar, sumber air laut yang mutunya rendah karena aliran air dari darat pada musim hujan, dan banyaknya limbah yang terbuang ke laut.
Untuk negara kita Indonesia rock salt tidak akan dijumpainya mengingat iklim di negara kita yang relatif curah hujannya tinggi sehingga terbentuknya tambang garam (rock salt) akan tidak terjadi. Sementara iklim/curah hujan di daerah subtropis curah hujan sangat rendah berkisar 300 - 500 mm per tahun sementara iklim di indonesia paling rendah 900 mm/tahun di daerah NTT dan curah hujan tertinggi 7.500 mm/tahun di daerah batu raden Jawa Tengah, sehingga dengan demikian daerah-daerah beriklim sub tropis memiliki keunggulan komparatif (tiada duanya) karena di untungkan oleh posisi lokasi di permukaan kulit bumi ini.
Air laut sebagai sumber bahan baku garam di negara-negara sub tropis relatif lebih baik, mengingat kepedulian terhadap pencemaran lingkungan khususnya air yang sangat tinggi, berbeda dengan negara kita Indonesia yang relatif rendah terhadap kepedulian pencemaran lingkungan, bahkan barang-barang rongsok di impor dari luar negeri yang pada akhirnya akan mencemari air dan lingkungan laut.
Pasang surut di negara kita Indonesia relatif tinggi dengan tunggang pasang bisa mencapai 3 m dpl karena permukaan air laut di negara tropis relatif dekat dengan matahari dan bulan, sehingga pengaruh gravitasi bulan dan matahari akan tinggi dan menimbulkan gelombang pasang air yang tinggi. Hal ini akan berdampak pada pembangunan tambak garam dan pengelolaan garam yang relatif lebih sulit karena adanya infiltrasi air yang akan mudah masuk atau keluar dari kolam tambak garam atau dari luar seperti air pasang dan air hujan.
Adanya gejolak anomali cuaca seperti elnino dan lannina yaitu musim kemarau berkepanjangan dan musim hujan berkepanjangan sehingga adanya dinamaika iklim yang ekstrim dan tidak dapat diprediksi dengan baik, hal ini akan sangat mempengaruhi pengelolaan tambak garam dan produksi garam, seperti sekarang tahun 2017 ini musim hujan yang berkepanjangan, sehingga produksi garam nasional turun sangat tajam akibat banyak tambak garam nasional yang gagal panen akibat meja kristalisasi kehujanan dan garam tidak terbentuk menjadi cair lagi.
Usaha tambak garam konvensiaonal dengan penjemuran matahari dan terbuka akan membutuhkan lahan yang luas, hal ini akan bersinggungan dengan fungsi-fungsi lahan yang lain seperti parikanan pantai dan laut, pariwisata pantai, akses pelabuhan dan reklamasi pantai. hal ini akan menyulitkan dalam pengediaan lahan sebagai tambak garam.
Usaha dibidang tambak garam menghasilkan yield/revenue yang relatif rendah dengan produksi garam 100 ton/ha/thn dan harga normal 500 rp/kg di tingkat petani/produsen, sehingga revenue yang diperoleh sebesar 50 juta/ha/thn sehingga usaha ini memiliki profit yang relatif rendah.
Usaha di bidang tambak dikelola di area terbuka tanpa pohon-pohon dan terik matahari yang begitu hebat, sehingga pengelolaannya memerlukan tantangan fisik yang sangat berat yaitu menghadapi terpaan panasnya lingkungan tambak garam, sehingga hasil kinerja tenaga kerja di lapangan relatif rendah karena terpaan panas yang begitu hebat. Hal ini tentunya akan mempengaruhi produkstifitas garam secara utuh. Berbeda dengan daerah sub tropis, tambak garam akan mengkristal karena dominan terpaan angin , sementara suhu lingkungan (sinar matahari) tidak begitu panas sehinga akan menyamankan tenaga kerja di lapangan.
Usaha tambak garam secara luas hingga 3000 ha, memerlukan mekanisasi dengan penggunaan mesin dalam pengelolaannya, mengingat kita dikejar dengan waktu iklim (musim) hujan yang segera tiba, sehingga memerlukan kedisiplinan yang tinggi. Sehingga mau-tidak mau dengan cara mekanisasi, sementara negara kita pengusaan teknologyinya masih kalah jauh dengan negara subtropis sperti australia, cina, india dan amerika.
Membangun tambak garam di daerah pantai relatif sulit, mengingat area berlumpur, pasang surut dan air bergaram dan banyak binatang perusak tanggul tambak bangsa ketam sehingga banyak hambatan yaitu sulitnya pengerjaan pembangunan tambak, banyak alat berat yang tenggelam dalam lumpur, menunggu momen surut air laut, dan banyak alat berat yang cepat rusak karena korosi akibat air garam dan tanggul yang bocor. Sehingga bisnis ini tidak banyak disukai oleh banyak petani.
Harga garam import yang relatif lebih murah terutama garam untuk industri dari pada harga garam produksi dalam negeri (lokal), mengingat faktor-faktor produksi garam luar negeri yang relatif murah seperti iklim, slop lahan, bahan baku air laut, dan pengusaan teknologi yang lebih bersahabat.
Apakah garam lokal (dalam negeri) mampu bersaing dengan garam import? fakta yang akan membuktikannya BRO.....